Indonesia mitologi Wiki
Advertisement

Amungme berasal dari 2 kata, Amung artinya utama dan me artinya manusia. Jadi pengertiannya mereka adalah manusia utama. Menurut cerita dari para leluhur mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah Baliem atau Mepingama ( tempat manusia keluar pertama kali).


Menurut mitos yang mereka yakini, zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat semua jenis tumbuhan dan binatang. Alkisah suatu ketika orang-orang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan luar di gua. Namun tidak ada seorangpun yang mampu membuka pintu gua kecuali seorang sesepuh adat mereka dengan membaca mantra-mantra tertentu. Saat waktu yang diinginkan mereka ingin keluar, sesepuh tua itu membaca mantra-mantranya dibantu seorang gadis yang masih suci dan mereka pun berhasil membuka pintu gua itu.

Akan tetapi masih ada yang menghalangi mereka untuk bisa keluar dari gua. Saat itu permukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi di sekitar lingkungan gua, diutuslah seekor burung nuri dan menanti datangnya kembali sang burung. Ternyata burung nuri tidak kembali juga. Maka diutuslah seekor burung murai atau negelarki. Saat burung murai kembali, paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal ini menandakan bumi sudah mengering. Esok harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan berjalan mengikuti arah sinar matahari, arah ke barat.

Selama perjalanan, orang-orang menebarkan bibit-bibit tanaman dan melepas semua jenis binatang. Sampailah mereka pada sebuah gunung. Me-arangguma-bugin yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan. Dan orang Amungme percaya mereka adalah rombongan manusia yang pertama kali keluar dari gua. Disusul rombongan dari suku-suku lain, seperti Ekagi, Moni, Wolani.

Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitar. Alam memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan mencintai alam sekitar. Caranya dengan tidak sembarangan merusak lingkungan hidup. Jika ada yang merusak alam, orang Amungme akan berkata :

“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh arap nap atendak, ib arop nan atendak. Kelap arop nan atendak, iatong heno, Inak juo onen diamo !”

( Anak-anak mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, batu itu pun diriku. Berbuatlah semaumu, aku kan mengawasimu”)


Bagi orang Amungme, tanah bukan hanya bernilai ekonomis, melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya. “Tanah adalah ibu kami”, ungkap mereka.

Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport.


World Mythology Community

Advertisement